Hadits Tentang Judi Haram

Kisah Pilu Anak Yatim Piatu di Malangbong Garut Rawat Adik Penyandang Disabilitas

Adapun deretan hadits tentang menyantuni dan menyayangi anak yatim, yang dilansir iNews.id dari berbagai sumber, Kamis (2/5/2024), adalah sebagai berikut.

Air Panas Api Neraka Bagi Peminum Khamar

Orang yang suka meminum khamar dan tidak tobat dengan sungguh-sungguh hingga ajal menjemputnya maka telah disediakan oleh Allah minuman berupa air yang sangat panas dari neraka. Sebagaimana hadits:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَسَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَمِيْمِ جَهَنَّمَ

Rasulullah ﷺ bersabda: Barangsiapa minum khamar maka Allah akan memberikan minuman dari air panas neraka Jahanam (HR. Bazzar).

Hadits Senyum: Anjuran Bersikap Ramah kepada Sesama

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

عن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : ليلة المعراج عندما وصلت إلى السماء رأيت ملكاً له ألف يد وفي كل يد ألف إصبع وكان يعد بأصابعه، فسألت جبرائيل عليه السلام عن اسمه وعن وظيفته وعمله، فقال إنه ملك موكل على عدد قطرات المطر النازلة إلى الأرض .. فسألت الملك : هل تعلم عدد قطرات المطر النازلة من السماء إلى الأرض منذ خلق الله الأرض ؟

فأجاب الملك : يا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) والله الذي بعثك بالحق نبياًَ إني لأعلم عدد قطرات المطر النازلة من السماء إلى الأرض عامة وكما أعلم الساقطة في البحار والقفار والمعمورة والمزروعة والأرض السـبخة والمقابر.

قال النبي (صلى الله عليه وسلم): فتعجبت من ذكائه وذاكرته في الحساب .. فقال الملك : يا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ولكني بما لدي من الأيدي والأصابع وما عندي من الذاكرة والذكاء فإني أعجز من عد أمر واحد . فقلت له: وما ذاك الأمر ؟

قال الملك : إذا اجتمع عدد من أفراد أمتك في محفل وذكروا اسمك فصلوا عليك . فحينذاك أعجز عن حفظ ما لهؤلاء من الأجر والثواب إزاء صلواتهم عليك ….

Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 (seribu) tangan, di setiap tangan ada 1000 (seribu) jari. Malaikat itu sedang menghitung dengan menggunakan jari-jemarinya. Aku bertanya kepada malaikat Jibril alaihissalam, ‘Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?.’

Jibril menjawab, ‘Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi.’

Maka aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bertanya kepada malaikat tadi, ‘Apakah kamu tahu berapa bilangan tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak Allah ciptakan bumi?.’

Malaikat itupun berkata, ‘Wahai Rasulallah, demi yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi. Dan aku juga mengetahui secara rinci berapa jumlah tetesan hujan yang jatuh di lautan, di daratan, di bangunan, di perkebunan, di daratan yang bergaram, dan di pekuburan.’

Mendengar uraian malaikat tadi, Rasuluallah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat takjub atas kecerdasan dan daya ingatnya dalam perhitungan. Kemudian malaikat tadi berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulallah, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian dan keulungan (untuk menghitung tetesan air hujan yang yang turun dari langit ke bumi), tapi aku tidak mampu menghitung satu perkara.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya, ‘Perkara apakah itu?.’

Malaikat itupun menjawab, ‘(Kekurangan dan kelemahanku, wahai Rasulullah), jika umatmu berkumpul di satu tempat, mereka menyebut namamu lalu bershalawat atasmu, pada saat itu aku tidak bisa menghitung berapa banyaknya pahala yang diberikan Allah kepada mereka atas shalawat yang mereka ucapkan atas dirimu.’”

Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’) dan BATIL karena Tidak Ada Asal-usulnya. Dan diantara tanda atau ciri kepalsuannya adalah sebagai berikut:

1) Hadits Palsu tersebut TIDAK ADA di dalam kitab-kitab hadits yang disusun para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, seperti kitab Shohih Al-Bukhari, Shohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Sunan Ad-Darimi, Sunan Ad-Daruquthni, Shohih Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Khuzaimah, Sunan Al-Baihaqi, dsb. Bahkan di dalam kitab hadits-hadits Dho’if dan Palsu karya para ulama Sunnah pun hadits tersebut tidak ditemukan, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian para ulama dan penuntut ilmu hadits.

2) Hadits Palsu ini disebutkan di dalam kitab-kitab hadits karya para tokoh (baca: pendeta) Syi’ah Rofidhoh dengan tanpa menyebutkan sanadnya. Dan juga disebutkan di dalam situs-situs Syi’ah di internet, diantaranya:

1. Kitab Mustadrok Al-Wasa-il karya An-Nuri Ath-Thobrosi Ar-Rofidhi V/355 hadits ke-72, cetakan ke-2, pustaka Alul Bait.

2. Manazilu Al-Akhiroti Wal Matholibu Al-Fakhirotu karya Abbas Al-Qummi Ar-rofidhi, cetakan Muassasah An-Nasyr Al-Islami.

3. http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/003/11.html

3) Ditinjau dari lafazhnya, maka susunan kalimat hadits palsu tersebut tidak baik dan tidak fasih. Sehingga sangat mustahil hadits ini datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau telah diberi Allah mukjizat jawami’ul kalim, yakni kemampuan berbicara dengan bahasa Arab yang paling fasih dengan kalimat yang singkat namun maknanya luas dan padat. Sementara di dalam hadits palsu ini terdapat kata Dzaakiroh (ذاكرة) yang artinya daya ingat, dan Dzakaa’ (ذكاء) yang artinya kecerdasan, yang mana kedua kata itu termasuk kata-kata modern yang sering diucapkan oleh orang-orang zaman sekarang. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang yang memalsukan hadits ini bukan orang yang hidup di zaman generasi salaf, tetapi ia hidup di zaman belakangan ini setelah berlalunya generasi as-salaf.

4) Di dalam hadits palsu ini disebutkan bahwa malaikat yang memiliki 1000 (seribu) tangan, dan pada setiap tangan terdapat 1000 (seribu) jari mampu menghitung jumlah tetesan air hujan, maka hadits ini menjadi BATIL karena bertentangan dengan firman Allah ta’ala: وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوهَا

Artinya: “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu untuk menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).

Dan air hujan merupakan salah satu nikmat dari sekian banyak nikmat Allah yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-nya. Maka bagaimana mungkin tetesan air hujan dapat dihitung jumlahnya malaikat atau makhluk lainnya?!

Demikian penjelasan tentang derajat hadits ini yang banyak tersebar di media internet atau melalui BBM, atau selainnya. Semoga Allah ta’ala melindungi kita semua dari bahaya mempercayai, mengamalkan dan menyebarluaskan hadits-hadits lemah dan palsu.

Alhamdulillah, dengan taufiq dan pertolongan-Nya, artikel ini telah selesai ditulis di Klaten, pada pagi hari Jumat, 17 januari 2014. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

* Artikel BB Group majlis Hadits Ikhwan dan Akhwat, chat romm Hadits Dho’if dan Palsu. PIN: 27FE9BE4

REPUBLIKA.CO.ID, Uang haram dalam Alquran dan hadits mempunyai istilah tersendiri. Akan tetapi, secara penggunaannya, uang haram tersebut secara garis besar memiliki persinggungan sama yaitu, uang yang dihasilkan dengan cara yang tak halal dan dari sumber yang tak halal pula.

Dalam kitab Zad al-Ma'ad, Ibn al-Qayyim al-Jauzi, menukil suatu riwayat tentang uang haram. Diceritakan, Abdullah ibn Rawahah diutus oleh Nabi untuk memungut zakat di lingkungan penduduk (Yahudi) Khaibar. Mereka bermaksud menyuap Abdullah.

Terang saja Abdullah marah dan menolaknya, seraya berkata, ''Apakah kalian mau memberi makan saya uang haram? Janganlah kecintaanku kepada Rasul dan kebencianku kepada kalian membuatku berlaku tidak adil,'' sambungnya lagi. Mereka mngangguk dan berkata, ''Sikap adil adalah kekuatan yang membuat langit dan bumi tetap tegak.''

Dalam riwayat di atas, uang haram itu dinamai al-suht, dari kata sahata, yashut yang berarti al-haram atau sesuatu yang tak ada kebaikan di dalamnya (al-ladzi la yubarak fih). Kata al-suht, menurut pakar bahasa al-Farra' bermakna 'lapar' atau 'kelaparan' (syiddat al-ju').

Ungkapan rajulun mashut menunjuk pada orang yang kelaparan yang makan apa saja, ia tidak pernah kenyang. Orang yang kelaparan cenderung mengambil dan makan apa saja secara membabi buta.

Kata al-suht, menurut pakar tafsir Ibn 'Asyur, mencakup semua uang atau pendapatan yang diperoleh secara tidak halal, seperti riba, suap, makan harta anak yatim, dan barang-barang hasil curian (al-maghshub). Yang paling besar dan paling buruk dari semua itu adalah suap (risywah).

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna al-suht. Jawabnya, ''Al-Risywah fi al-hukm (uang suap (sogokan) dalam bidang hukum atau dunia peradilan.'' (Ibn Jaririr dari Umar ra).

Alquran juga mengingatkan bahwa uang haram itu, seperti halnya riba, tak ada kebaikan di dalamnya, yakni mamhuq (QS Al-Baqarah [2]: 276) dan mendatangkan siksa bagi tuannya.

Dalam salah satu fatwanya, Jadul Haqq Ali Jadul Haqq, mantan Syaikh al-Azhar, mengingatkan kaum Muslim agar menjauhkan diri dari uang haram (al-suht).

Caranya, kita mula-mula harus meninggalkan kebiasan buruk, mencari harta dengan cara-cara yang tidak halal seperti korupsi, manipulasi, dan melakukan praktik suap. ''Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta yang lain di antara kamu dengan cara yang batil.'' (QS al-Baqarah [2]: 188).

Seperti diterangkan dalam Alquran dan juga dalam banyak hadis, uang haram (al-suht) dan yang sejenis itu akan diperlihatkan oleh Allah kelak di akhirat. Firman-Nya, ''Barangsiapa berkhianat (korupsi), maka ia akan datang (menghadap Tuhan) membawa hasil korupsinya itu di hari kiamat.'' (QS Ali Imran [3]: 161)

Jln. Tentara Pelajar, Ruko Permata Senayan Unit B10-11, RT.1/RW.7, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jakarta 12210

Maraknya Judi Online di Indonesia telah menarik perhatian publik, karena dilakukan oleh anggota pejabat, artis hingga rakyat jelata. Bahkan transaksi judi online di Indonesia tembus hingga Rp 200 triliun. Bagaimana hukum Judi Online menurut syariah Islam? Bagaimana pula solusinya?

Judi, dalam bahasa Arabnya, disebut al-Qimaar atau al-Maysiir, merupakan praktik muamalah yang marak pada zaman Jahiliah. Sebelum diharamkan, praktik perjudian sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jahiliah. Mereka melakukan perjudian. Ada kalanya sebatas untuk bersenang-senang. Ada pula yang menjadikan judi sebagai salah satu mata pencaharian.

Al-Quran, ketika mengangkat masalah perjudian ini, menggunakan istilah, al-Maysir, yang secara harfiah satu akar kata dengan kata, al-Maysarah, yang berarti “mudah”. Kata “al-Maysir” diambil dari kata “Yusr[un]”, yang berarti “gampang” atau “mudah”. Disebut dengan menggunakan istilah ini karena orang yang berjudi ingin mendapatkan kekayaan dari orang lain tanpa harus bekerja keras atau memeras keringat.1

Penggunaan kata ini juga mencerminkan tradisi masyarakat Jahiliah saat itu. Mereka memang memiliki masalah moral yang akut, seperti sikap fanatisme kesukuan, membunuh anak perempuan, mabuk, berzina, dan lain-lain. Namun, mereka juga dikenal memiliki beberapa sifat luhur seperti dermawan, menepati janji, saling tolong-menolong, dan sebagainya. Al-‘Allamah al-Mubarakfuri menjelaskan, saking dermawannya masyarakat Jahiliah, ketika mereka mempunyai tamu, meski kondisi ekonomi keluarganya sangat buruk, mereka tetap menghormati tamunya dengan jamuan terbaik. Bahkan andai hanya memiliki seekor unta, mereka pun akan menyembelih unta itu untuk memuliakan tamunya.

Di antara wujud kedermawanan ini adalah kebiasaan minum khamr dan berjudi. Mengonsumsi khamr bagi mereka merupakan simbol kedermawanan. Dengan minum khamr ini mereka bisa menghambur-hamburkan uang. Begitu pun dengan judi. Biasanya hasil judi ini akan dibagikan kepada fakir miskin.2

Bagi masyarakat Jahiliah judi sudah begitu mentradisi;  menjadi bagian life style mereka. Karena itu Allah SWT tidak langsung menurunkan ayat yang mengharamkan judi. Allah SWT  lebih dulu menjelaskan bahwa dalam judi ini banyak madarat yang merugikan banyak pihak. Allah SWT berfirman:

۞يَسۡئَلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ  ٢١٩

Mereka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Namun, dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka pun bertanya kepada engkau (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah. “Kelebihan (dari apa yang diperlukan). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian memikirkan.” (QS al-Baqarah [2]: 219).

Ayat ini belum mengharamkan judi secara langsung. Allah hanya menyinggung judi, bahwa judi itu sebenarnya memiliki manfaat meski madaratnya jauh lebih besar. Judi  menyebabkan banyak kerugian, melalaikan dari zikir, menimbulkan permusuhan dan sebagainya. Setelah turun ayat ini, sebagian orang mulai meninggalkan judi, tetapi masih banyak juga yang tetap melakukannya.

Imam al-Qurthubi, dengan mengutip Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini. Diesbutkan, sekali waktu pada masa Jahiliah ada seorang laki-laki beradu spekulasi dengan laki-laki lain dengan taruhan berupa keluarga dan harta bendanya. Siapa yang undiannya keluar, ia berhak membawa harta laki-laki lainnya beserta keluarga.3

Kemudian, setelah masyarakat sudah mulai mengerti bahaya judi, Allah SWT menurunkan ayat yang mengharamkan permainan merugikan ini. Disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ  ٩٠ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ وَيَصُدَّكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِۖ فَهَلۡ أَنتُم مُّنتَهُونَ  ٩١

Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung.  Dengan minuman keras dan judi itu setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian serta menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat. Karena itu tidakkah kalian mau berhenti? (QS al-Maidah [5]: 90-91).

Al-Qurthubi menjelaskan, alasan Allah menurunkan keharaman judi dan minum khamr secara bersamaan karena keduanya memiliki kemiripan. Pertama, meminum sedikit khamr, meski  tidak memabukkan, hukumnya tetap haram. Persis  sebagaimana judi, mau banyak atau sedikit, hukumnya tetap haram. Kedua, meminum khamr bisa membuat orang lalai beribadah karena pengaruhnya yang memabukan. Demikian juga dengan judi. Judi pun bisa membuat pemainnya larut dalam kesenangan sehingga membuat dia lalai.4

Selain khamr, keharaman judi di dalam ayat ini juga dibarengi dengan keharaman mengundi nasib (nashab). Maysir itu sendiri dinyatakan oleh para ulama:

اَلْمَيْسِرُ هُوَ كُلُّ عَمَلِيَّةٍ يَكُوْنُ الْمُشَارِكُ فِيْهَا إِمَّا غَانِماً وَإمَّا غَارِماً

Maysir (judi) itu adalah setiap tindakan saat para pihak yang terlibat di dalamnya bisa menang (mendapatkan keuntungan) atau kalah (menderita kerugian).

Mengenai judi online sebenarnya hanya sarana (wasilah)-nya saja yang berbeda dengan judi konvensional. Substansinya sama. Sama-sama judi. Karena itu dua-duanya sama-sama haram. Hanya saja, modus judi online mungkin perlu dipahami. Pertama, melalui pintu Game Online. Kedua, melalui situs judi online. Ketiga, melalui situs-situs yang secara langsung tidak terkait dengan judi, tetapi kemudian akses ke perjudian terbuka, seperti pornografi, dan sebagainya.

Meski awalnya judi online, termasuk taruhan dan mengundi nasib, itu dilakukan melalui permaian tanpa uang, maka para fuqaha’ menyebutnya tetap sebagai judi, dengan istilah, “Maysir al-Lahwi” (judi main-main). Karena itu mereka membagi judi menjadi dua kategori: Pertama, disebut Maysir al-Lahwi (judi main-main), yaitu judi yang dilakukan tanpa uang. Kedua, disebut Maysir Qimaar (judi beneran), yaitu judi yang dilakukan dengan uang. Di antara fuqaha’ Mutaqaddimin dan Muta’akhirin yang melakukan pembagian itu adalah Imam Malik bin Anas (w. 174 H), Ibn Taimiyah (w. 728 H) dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H).

Imam Malik menjelaskan:

الْمَيْسِرُ مَيْسِرَانِ : مَيْسِرُ اللَّهْوِ فَمِنْهُ النَّرْدُ وَالشّطْرَنْجُ وَالْمَلاَهِي كُلُّهَا، وَمَيْسِرُ الْقِمَارِ، وَهُوَ مَا يَتَخَاطَرُ النَّاسُ عَلَيْه. وَسُئِلَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ مَا الْمَيْسِرُ؟ فَقَالَ : كُلُّ مَاأَلْهىَ عَنْ ذِكْرِ الله وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهُوَ مَيْسِر.

Maysir (judi) itu ada dua: (1) Maysir al-Lahwi (judi main-main), antara lain seperti dadu, catur dan semua hiburan yang melalaikan; (2) Maysir al-Qimaar (judi beneran), yang masing-masing orang mendapatkan risiko yang menimpa dirinya. Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ditanya: Apa itu Maysir? Beliau menjawab, “Segala sesuatu yang mengalihkan perhatian dari mengingat Allah itu semuanya adalah Maysir (judi).”

Ibnu Taimiyah berkata:

إِنَّ مَفْسَدَة الْمَيْسِرِ أَعْظَمُ مِنْ مَفْسَدَةِ الرِّبَا لِأَنَّه يَشْتَمِلُ عَلَى مَفْسَدَتَ يْنِ: مَفْسَدَةِ أَكْلِ الْمَالِ بِالْحَرَامِ، وَمَفْسَدَةِ اللَّهْوِ الْحَرَامِ، إِذْ يَصُدُّ عَنْ ذِكْرِ الله وَعَنِ الصَّلاَة وَيُوْقِعُ فِي الْعَدَاوَة وَالْبَغْضَاءِ، وَلِهَذَا حُرِّمَ الْمَيْسِرُ قَبْلَ تَحْرِيْمِ الرِّبَا

Kerusakan yang ditimbulkan oleh judi lebih besar dari kerusakan akibat riba karena mencakup dua kerusakan: Kerusakan memakan harta secara haram, juga kerusakan pada hiburan yang diharamkan karena menghalangi seseorang dari Allah, dan shalat, serta mengarah pada permusuhan dan kebencian. Inilah sebabnya mengapa perjudian dilarang sebelum riba dilarang.

Jadi, jelas hukum judi online diharamkan di dalam Islam. Sama seperti judi konvensional. Begitu juga semua sarana yang bisa mengantarkan pada judi online ini juga bisa menjadi haram, jika memenuhi dua syarat. Pertama, secara “ghalabatu az-zhann” (dugaan kuat) akan mengantarkan pada perbuatan haram (judi). Kedua, perbuatan asalnya (judi) yang dinyatakan haram, jelas-jelas haram berdasarkan dalil. Jika dua syarat ini terpenuhi maka apapun yang bisa menjadi pintu ke sana hukumnya haram, dan harus ditutup.

WalLaahu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman, MA]

1        Az-Zamaskhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, 1998: juz I, hal. 427.

2        Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, 2016:  hal. 29.

3        Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2019: juz II, hal. 41.

4        Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2006: juz VIII, hal. 165.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang-orang yang suka minum khamar akan terjerumus dalam jurang kemiskinan serta masalah kesehatan. Bahkan karena pengaruh khamar akan membuatnya semakin dalam pada perbuatan maksiat lainnya, seperti mencuri, berzina, membunuh, dan lainnya.

Di akhirat, orang-orang yang meminum khamar akan mendapatkan siksa yang sangat berat. Berikut enam hadits tentang azab yang akan menimpa para peminum khamar.

Hadits tentang Semangka, Buah Surga yang Jadi Simbol Dukungan Palestina

“Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim karena Allah maka baginya kebaikan yang banyak dari setiap rambut yang ia usap. Dan barangsiapa yang berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki maka aku dan dia akan berada di surga seperti ini, beliau mengisyaratkan merenggangkan antara jari telunjuk dan jari tengahnya.” (HR. Ahmad dan Abu Umamah).

"Barangsiapa yang mengasuh tiga anak yatim, maka bagaikan bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya dan bagaikan orang yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya untuk berjihad di jalan Allah." (HR. Ibnu Majah).

Hadits tentang Menuntut Ilmu, Umat Muslim Wajib Simak!

“Orang yang memelihara anak yatim di kalangan umat muslim, memberikannya makan dan minum, pasti Allah akan masukkan ke dalam surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak bisa diampuni.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).

“Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan, maka laksanakanlah pula dalam keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim dan berbuat baiklah kamu pada tetanggamu.”

Hadits tentang Menyantuni Anak Yatim

“Aku dan orang-orang yang menyantuni anak-anak yatim disurga nanti kelak seperti dua jari ini.” (H.R. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad).

Peminum Khamar Diberikan Keringatnya Ahli Neraka

Kelak peminum khamar akan dimasukan ke dalam neraka. Dan di dalamnya Allah SWT menyuguhkan Thiynatul Khobal, yakni keringatnya para ahli neraka. Sebagaimana hadits:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ مُسْكِرٍحَرَامٌ, وَاِنَّ عِنْدَاللَّهِ عَهْدًالِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَأَنْ يَسْقِيَهُ اللَّهُ مِنْ طِيْنَةِ الْخَبَالِ قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهِ ,وَمَاطِيْنَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ :عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ أَوْعُصَارَةُ أَهْلِ النَّاِر.

Rasulullah ﷺ bersabda: Setiap minuman yang memabukan itu haram. Dan di sisi Allah itu ada perjanjian bagi orang yang minum minuman memabukan. Yaitu Allah akan memberikannya minuman Thiynatul Khobal. Para sahabat bertanya:  Ya Rasulullah apakah itu Thiynatul Khobal? Lalu Rasulullah bersabda: yaitu keringatnya ahli neraka atau perasaannya ahli neraka (HR. Muslim dan Nasai).

JAKARTA, iNews.id - Hadits tentang menyantuni anak yatim perlu diketahui. Menyantuni anak yatim merupakan perbuatan mulia yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan istimewa dan sangat berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari sesama. Dengan mengamalkan ajaran Rasulullah SAW tentang menyantuni anak yatim, kita tidak hanya membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga membuka pintu pahala yang berlimpah dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Keistimewaan Menyantuni Anak Yatim

Demikian beberapa hadits tentang menyantuni anak yatim. Semoga bermanfaat.

Editor: Komaruddin Bagja

Kisah Pilu 4 Anak Yatim Urus Nenek Lumpuh di Nias, Bocah 10 Tahun Pilih Kerja untuk Sekolah Kakak

Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Thobrani, Shahih At Targhib Al Albani bahwa, “Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim di antara dua orang tua Muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.”

“Demi Yang Mengutusku dengan hak, Allah tidak akan menyiksa pada hari kiamat nanti orang yang menyayangi anak yatim, lemah lembut pembicaraan dengannya, menyayangi keyatiman dan kelemahannya.” (HR. Thabrani).